Newstv SULSEL – Kerajaan Tallo yang dulunya redup, kini mulai kembali bangkit dibawah komando Andi Iskandar Esa Dg Pasore, yang dimana Andi Iskandar Esa yang dilantik pada 28 Oktober 2007 lalu oleh Prof.Dr.H.Andi Muh.Syarif Toa Patunru selaku Pemangku Adat Nasional.
Pada pelantikan itu, selain Andi Iskandar Esa Dg Pasore yang dilantik sebagai Raja diKerajaan Tallo , dilantik sebagai Raja Tallo yang ke 19, dan juga H.Andi Ilham Krg Mattutu sebagai Bali Empona Tallo.
Andi Iskandar Dg Pasore rajaan Tallo, ia juga menjabat sebagai Ketua di Lembaga Adat Passereanta Firman Sombali Kerajaan Islam Kembar Gowa Tallo Sulsel yang sudah terdaftar di Menteri Dalam Negeri Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum nomor, 2400-00-00/716/XII/2019, sebagai lemabaga pelestarian adat istiadat gowa tallo.
Ketua dewan adat kerajaan tallo juga menjelaskan bahwa, Tentang I Nannu Karaeng Lakiung yang tak lain adalah anak kandung dari Raja Tallo yang ke-17 sesuai surat Komisi Stamboom Kesultanan Bone, bahwa I Nannu karaeng Lakiung tak memiliki keturunan,”Ungkapnya.
Dalam surat Komisi Stamboom Kesultanan Bone mengatakan dengan jelas bahwa Data 1983 yang dimana data tersebut dibenarkan dan ditandatangani Dewan Komisi Stamboom beserta Puatta Andi Mappanyukki Karaeng Selaja, menjelaskan bahwa dari perkawinan I Nannu Karaeng Lakiung bersama Ijinjing Karaeng Lengkese tidak memiliki keturunan dan beliau hanya menikah satu kali
Tujuan pengukuan ini agar cakar budaya di Indonesia terutama dikerajaan tallo agar budaya bisa dikenal lebih dekat
Menurut ketua DPW MIO SULSEL Haji Andi Syafri Karaeng Djarung Redaktur Daerah Newstv Sulsel berpendapat Daeng Manrabbia merupakan raja pertama yang memeluk agama Islam, kurang lebih pada tahun 1607, setelah sebelumnya didahului oleh Karaeng Tallo pada tahun 1605. Kesamaan kepercayaan ini kemudian menjadi modal utama penyatuan kedua kerajaan menjadi satu. Hal ini berhasil membawa Gowa-Tallo mendominasi wilayah Sulawesi Selatan mengalahkan Bone, Wajo, Luwu, dan Soppeng.
Daeng Mattola Karaeng Lakiyung (1639-1653)Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanudin (1653-1669), Sultan Hasanudin merupakan raja yang terpenting dalam perjalanan sejarah Gowa-Tallo. Dikarenakan ambisinya menguasai kawasan Sulawesi Selatan dan perdagangan ke timur berhadapan dengan VOC dan raja-raja lokal yang bersekutu. Perang Makassar yang berlangsung pada tahun 1654-1655, serta ketegangan yang terus berlangsung melemahkan Gowa-Tallo. Pada tahun 1667 perang berkobar kembali, dan VOC bersama Arung Palakka dari Bone berhasil mengalahkan Hasanudin. Ia menyerah dalam Perjanjian Bongaya dan menyerahkan kekuasaan kepada VOC.Kehidupan Masyarakat Kerajaan Gowa-Tallo
Kehidupan Politik
Gowa-Tallo sejak sebelum menjadi kerajaan berbasis Islam, kerap berperang dengan wilayah lain di Sulawesi Selatan. Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu adalah beberapa kerajaan lokal yang kerap bermusuhan dengan Gowa. Adapun Wajo dan Luwu berhasil ditaklukkan oleh Gowa-Tallo dan menjadi bawahannya. Sementara Bone mampu bertahan sampai setidaknya tahun 1582. Ketika bersama wilayah lain berupaya mempertahankan kemerdekaan dari Gowa. Memasuki masa Islam, Gowa-Tallo menyebarkan pengaruh Islam ke Bone dan Wajo antara tahun 1610-1611. Hal ini menjadi bagian dari penguasaan Gowa-Tallo atas wilayah mereka. Pertentangan antar daerah ini terus berlangsung, sampai pada akhirnya Gowa-Tallo harus berhadapan dengan kerajaan lain yang disokong VOC.
Kehidupan Ekonomi
Gowa-Tallo disebut-sebut kaya akan beras putih dan bahan makanan lainnya yang diperdagangkan. Mereka juga menjual kapur barus hitam, yang ditukar dengan berbagai komoditas wilayah lain. Gowa mampu menjalin perdagangan dengan Jawa, Maluku, Malaka, dan bahkan sampai ke India dan Cina. Impor tekstil dari India, dan keramik dari Cina banyak ditemukan sebagai bukti perdagangan yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Pelabuhan Somba Opu menjadi bandar utama mengalirnya rempah-rempah dari Maluku ke wilayah barat.Gowa-Tallo tentunya mendapat keuntungan yang amat besar dari wilayah ini.
Kehidupan Sosial
Gowa-Tallo menempatkan agama Islam sebagai instrument penting dalam roda kehidupan masyarakat. Dikenal beberapa mubalig utama atau Daltu Tallu, beberapa diantaranya berasal dari Jawa. Mereka inilah yang berjasa mengislamkan raja-raja Sulawesi Selatan, dan menyebarkan secara luas kepada masyarakat. Ajaran sufisme bahkan sempat berkembang melalui Syekh Yusuf al-Makasari, meskipun pada akhirnya ia berpindah ke Banten karena tidak disukai elit kerajaan.Masa Kejayaan Kerajaan Gowa Tallo
Sepanjang sejarah perjalanan Kerajaan Gowa, yang kemudian bergabung menjadi Gowa-Tallo Berjaya pada awal sampai pertengahan abad ke-17. Tepatnya ketika Karaeng Gowa-Tallo bersama-sama menganut Islam dan membentuk aliansi untuk mendominasi kawasan. Pada periode itu, Gowa Tallo mampu menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi bagian selatan dan barat. Menjangkau pesisir Kalimantan, Maluku, dan Nusa Tenggara. Gowa-Tallo juga berdagang dengan Jawa, Malaka, Cina, dan India untuk pemenuhan berbagai kebutuhan. Sementara mereka memperdagangkan kapur barus, beras, dan bahan makanan lainnya sebagai komoditas utama. Gowa-Tallo menjadi gerbang perdagangan antara barat dengan sumber rempah di Maluku. Di sisi lain, kejayaan ini semakin memupuk kebencian dari raja-raja lokal lainnya seperti Wajo dan Bone. Mereka membentuk aliansi memusuhi Gowa-Tallo, yang kemudian disambut dengan bantuan dari VOC.
Runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo
Kemunduran Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemilik dominasi Sulawesi sebenarnya terjadi secara langsung setelah kekalahan Hasanuddin pada 1667 melawan VOC dan Bone. Kekuatannya terus melemah, terlebih karena penetrasi VOC yang semakin kuat di wilayah tersebut. Gowa Tallo masih dapat bertahan sampai akhir abad ke-19, meskipun dengan kekuasaan yang semakin sempit. Pada tahun 1895, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai gencar melakukan penaklukkan di wilayah Sulawesi. Riwayat Gowa Tallo berakhir ketika Karaeng Lembang Parang Sultan Husain
Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
1. Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu merupakan benteng sekaligus pusat perdagangan/pelabuhan bagi Gowa Tallo. Ia menampung rempah-rempah dari timur untuk diperdagangkan ke seluruh dunia. Benteng ini sempat hancur setelah dikuasai VOC pada tahun 1669, akan tetapi kemudian direkonstruksi kembali pada ttahun 1990 dan menjadi situs sejarah penting di Gowa.
2. Batu Tumanurung/Pallantikan
Situs ini adalah makam bagi beberapa raja-raja Gowa-Tallo, salah satunya Sultan Hasanudin. Menurut beberapa cerita, tempat ini juga disinyalir sebagai tempat pelantikan raja. Tempatnya berdekatan dengan lokasi Masjid Tua Katangka dan dugaan Istana Tamalate.
3. Benteng Ujung Pandang/Rotterdam
Benteng Ujung Pandang adalah instalasi pertahanan Gowa-Tallo di pesisir barat. Dibangun pada masa kekuasaan raja Gowa ke-9, Karaeng Lakiyung. Semula berbahan tanah liat, kemudian direkonstruksi oleh Sultan Alauddin (raja ke-14) dengan batu padas. Benteng ini diubah namanya oleh Cornelis Speelman menjadi Fort Rotterdam dan berfungsi menjadi Gudang penampungan rempah bagi VOC
Menurut ketua DPW MIO SULSEL berpendapat Daeng Manrabbia merupakan raja pertama yang memeluk agama Islam, kurang lebih pada tahun 1607, setelah sebelumnya didahului oleh Karaeng Tallo pada tahun 1605. Kesamaan kepercayaan ini kemudian menjadi modal utama penyatuan kedua kerajaan menjadi satu. Hal ini berhasil membawa Gowa-Tallo mendominasi wilayah Sulawesi Selatan mengalahkan Bone, Wajo, Luwu, dan Soppeng.
Daeng Mattola Karaeng Lakiyung (1639-1653)
Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanudin (1653-1669)
Sultan Hasanudin merupakan raja yang terpenting dalam perjalanan sejarah Gowa-Tallo. Dikarenakan ambisinya menguasai kawasan Sulawesi Selatan dan perdagangan ke timur berhadapan dengan VOC dan raja-raja lokal yang bersekutu. Perang Makassar yang berlangsung pada tahun 1654-1655, serta ketegangan yang terus berlangsung melemahkan Gowa-Tallo. Pada tahun 1667 perang berkobar kembali, dan VOC bersama Arung Palakka dari Bone berhasil mengalahkan Hasanudin. Ia menyerah dalam Perjanjian Bongaya dan menyerahkan kekuasaan kepada VOC.
Masa Kejayaan Kerajaan Gowa Tallo
Sepanjang sejarah perjalanan Kerajaan Gowa, yang kemudian bergabung menjadi Gowa-Tallo Berjaya pada awal sampai pertengahan abad ke-17. Tepatnya ketika Karaeng Gowa-Tallo bersama-sama menganut Islam dan membentuk aliansi untuk mendominasi kawasan. Pada periode itu, Gowa Tallo mampu menguasai sebagian besar wilayah Sulawesi bagian selatan dan barat. Menjangkau pesisir Kalimantan, Maluku, dan Nusa Tenggara. Gowa-Tallo juga berdagang dengan Jawa, Malaka, Cina, dan India untuk pemenuhan berbagai kebutuhan. Sementara mereka memperdagangkan kapur barus, beras, dan bahan makanan lainnya sebagai komoditas utama. Gowa-Tallo menjadi gerbang perdagangan antara barat dengan sumber rempah di Maluku. Di sisi lain, kejayaan ini semakin memupuk kebencian dari raja-raja lokal lainnya seperti Wajo dan Bone. Mereka membentuk aliansi memusuhi Gowa-Tallo, yang kemudian disambut dengan bantuan dari VOC.
Runtuhnya Kerajaan Gowa Tallo
Kemunduran Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemilik dominasi Sulawesi sebenarnya terjadi secara langsung setelah kekalahan Hasanuddin pada 1667 melawan VOC dan Bone. Kekuatannya terus melemah, terlebih karena penetrasi VOC yang semakin kuat di wilayah tersebut. Gowa Tallo masih dapat bertahan sampai akhir abad ke-19, meskipun dengan kekuasaan yang semakin sempit. Pada tahun 1895, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai gencar melakukan penaklukkan di wilayah Sulawesi. Riwayat Gowa Tallo berakhir ketika Karaeng Lembang Parang Sultan Husain.