Newstv sulsel— Sudiang berdiri sekitar abad XIII dengan nama Bentang, karena itulah awalnya raja yang memerintah Sudiang bergelar Karaeng LoE ri Bentang, putera Batara Bira.
Perubahan nama dari Bentang menjadi Sudiang berawal ketika Raja Gowa memberi nama wilayah ini Kodia yang artinya buruk, mungkin karena Raja Gowa menilai kondisi alam daerah ini yang sungguh-sungguh tidak menarik atau pun mungkin ada hal lain yang kurang menyenangkan sehingga Raja Gowa menyebutnya demikian.
Ketika Kare Kobbi, Karaeng Sudiang IX bersama-sama dengan Karaeng Punrangan ri Borisallo berhasil kembali dari Jawa dalam sebuah tugas ekspedisi penyerangan, maka Raja Gowa menganggap penilaiannya selama ini terbalik yang diistilahkan SISULIANG yang artinya pengertian terbalik dari sebelumnya. Dari kata sisuliang itulah akhirnya berubah bunyi menjadi SUDIANG.
Selanjutnya dari Bira dan Sudiang, akhirnya berkembang menjadi 4 kerajaan yaitu Biringkanayya dan MoncongloE, setelah putera dari I Addolo Daeng Mangngitung (Karaeng Bira XIV /Gallarang Bira III) yaitu I Mangngassengi Daeng Mangngassai Bangkeng Bate ri Paralloe diangkat menjadi Gallarang Biringkanaya Pertama dan adiknya I Hama Daeng Leo, diangkat sebagai Gallarang MoncongloE pertama.
Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya, merupakan daerah Suku Makassar, dengan demikian ikatan sejarahnya sangatlah erat dengan Sejarah Gowa dan Tallo, sebab memang berdasarkan catatan Lontara, Karaeng LoE ri Sero bernama Makaraeng daeng mandjarung ( Karaeng Djarung ) ditetapkan sebagai Raja Tallo Pertama atas permufakatan Karaeng LoE ri Bentang (Raja Sudiang) dan Karaeng LoE ri Bira (Raja Bira).
Sudiang sendiri adalah salah satu Anggota Dewan Panji Sembilan Kerajaan Gowa atau yang dikenal dengan sebutan Bate Salapanga, yaitu sejak tahun 1565 menggantikan kedudukan Gallarang Batua.
Jabatan selaku Anggota Bate Salapanga dipegang selama 4 (empat) dekade raja di Sudiang yang kebetulan semuanya adalah perempuan (ratu). Sebutan raja di Sudiang sejak berdirinya sampai keluar sebagai Anggota Bate Salapanga adalah karaeng tetapi sesudahnya barulah disebut gallarang.
Sedangkan Bira, Biringkanayya dan Moncongloe menjadi bagian dari Dewan Hadat Kerajaan Tallo.
Perkembangan Selanjutnya, Gallarang Appaka muncul dan populer, pada saat Belanda sudah memperoleh penguasaan total atas Sulawesi Selatan termasuk Maros, atas dasar itu Kerajaan-kerajaan lokal yang ada ditata menjadi daerah-daerah pemerintahan administratif dalam bentuk Distrik Adat Gemenschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih dari bangsawan setempat berdasarkan peraturan adat serta mendapatkan pengesahan dari Gubernur Belanda di Makassar.
Empat Distrik serumpun masing-masing Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya yang ditetapkan sebagai Distrik Adat Gemenschaap dipimpin oleh seorang Kepala Distrik dengan gelar Gallarang. Dan dimasukkan menjadi bagian dari Onderafdeling Maros. Setelah sebelumnya menjadi daerah bawahan dari Kerajaan Gowa Tallo.
Atas dasar itulah sehingga keempatnya dipopulerkan dengan istilah Gallarang Appaka (Empat Distrik yang dipimpin oleh Gallarang).
Uraian lengkap masing Kerajaan Gallarang Appaka menjadi satu bagian pokok dari Buku Sejarah yang kami tulis meskipun diakhir perjalanannya hanya MoncongloE yang tetap menjadi bagian dari Maros hingga saat ini
Newstv sulsel— Sudiang berdiri sekitar abad XIII dengan nama Bentang, karena itulah awalnya raja yang memerintah Sudiang bergelar Karaeng LoE ri Bentang, putera Batara Bira.
Perubahan nama dari Bentang menjadi Sudiang berawal ketika Raja Gowa memberi nama wilayah ini Kodia yang artinya buruk, mungkin karena Raja Gowa menilai kondisi alam daerah ini yang sungguh-sungguh tidak menarik atau pun mungkin ada hal lain yang kurang menyenangkan sehingga Raja Gowa menyebutnya demikian.
Ketika Kare Kobbi, Karaeng Sudiang IX bersama-sama dengan Karaeng Punrangan ri Borisallo berhasil kembali dari Jawa dalam sebuah tugas ekspedisi penyerangan, maka Raja Gowa menganggap penilaiannya selama ini terbalik yang diistilahkan SISULIANG yang artinya pengertian terbalik dari sebelumnya. Dari kata sisuliang itulah akhirnya berubah bunyi menjadi SUDIANG.
Selanjutnya dari Bira dan Sudiang, akhirnya berkembang menjadi 4 kerajaan yaitu Biringkanayya dan MoncongloE, setelah putera dari I Addolo Daeng Mangngitung (Karaeng Bira XIV /Gallarang Bira III) yaitu I Mangngassengi Daeng Mangngassai Bangkeng Bate ri Paralloe diangkat menjadi Gallarang Biringkanaya Pertama dan adiknya I Hama Daeng Leo, diangkat sebagai Gallarang MoncongloE pertama.
Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya, merupakan daerah Suku Makassar, dengan demikian ikatan sejarahnya sangatlah erat dengan Sejarah Gowa dan Tallo, sebab memang berdasarkan catatan Lontara, Karaeng LoE ri Sero bernama Makaraeng daeng mandjarung ( Karaeng Djarung ) ditetapkan sebagai Raja Tallo Pertama atas permufakatan Karaeng LoE ri Bentang (Raja Sudiang) dan Karaeng LoE ri Bira (Raja Bira).
Sudiang sendiri adalah salah satu Anggota Dewan Panji Sembilan Kerajaan Gowa atau yang dikenal dengan sebutan Bate Salapanga, yaitu sejak tahun 1565 menggantikan kedudukan Gallarang Batua.
Jabatan selaku Anggota Bate Salapanga dipegang selama 4 (empat) dekade raja di Sudiang yang kebetulan semuanya adalah perempuan (ratu) salah satunya I.FATIMAH TAKUNTU ( istri dari makaraeng daeng mandjarung) . Sebutan raja di Sudiang sejak berdirinya sampai keluar sebagai Anggota Bate Salapanga adalah karaeng tetapi sesudahnya barulah disebut gallarang.
Sedangkan Bira, Biringkanayya dan Moncongloe menjadi bagian dari Dewan Hadat Kerajaan Tallo.
Perkembangan Selanjutnya, Gallarang Appaka muncul dan populer, pada saat Belanda sudah memperoleh penguasaan total atas Sulawesi Selatan termasuk Maros, atas dasar itu Kerajaan-kerajaan lokal yang ada ditata menjadi daerah-daerah pemerintahan administratif dalam bentuk Distrik Adat Gemenschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih dari bangsawan setempat berdasarkan peraturan adat serta mendapatkan pengesahan dari Gubernur Belanda di Makassar.
Empat Distrik serumpun masing-masing Bira, Sudiang, Moncongloe dan Biringkanaya yang ditetapkan sebagai Distrik Adat Gemenschaap dipimpin oleh seorang Kepala Distrik dengan gelar Gallarang. Dan dimasukkan menjadi bagian dari Onderafdeling Maros. Setelah sebelumnya menjadi daerah bawahan dari Kerajaan Gowa Tallo.
Atas dasar itulah sehingga keempatnya dipopulerkan dengan istilah Gallarang Appaka (Empat Distrik yang dipimpin oleh Gallarang) ada pun anak cucuknya yg asli akan memiliki parang yg berlambang payung dan kapal bertulisan lontara itu parang akan diwariskan kepada anak cucunya itulah nanti akan menyatukan kembali budaya dan adat disulsel selatan.
Uraian lengkap masing Kerajaan Gallarang Appaka menjadi satu bagian pokok dari Buku Sejarah yang kami tulis meskipun diakhir perjalanannya hanya MoncongloE yang tetap menjadi bagian dari Maros hingga saat ini.newstv sulsel