Newstv Sulsel – Tanah bagi mayoritas masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia tergantung dari keberadaan tanah yang mereka olah baik dalam bentuk pertanian, perkebunan dan perternakan serta mendirikan tempat tinggal untuk diri mereka sendiri serta anak keturunan.
Dari hasil olah tanah tersebut masyarakat Indonesia bisa hidup dan secara tidak langsung menganggap tanah merupakan suatu kebutuhan primer. Hal ini telah dirasakan dan terjadi dalam realita kehidupan masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan.
Dalam mengatur kedudukan tanah ini sebelum kemerdekaan, oleh masyarakat Indonesia diberlakukan hukum adat masing-masing daerah yang ada, selain itu juga ada hukum perdata dari Belanda yang menjadi pegangan oleh pemerintah Belanda yang ketika itu menduduki wilayah-wilayah Indonesia.
Setelah masa kemerdekaan, pada tanggal 24 September 1960 disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria oleh Presiden Sukarno, sehingga dengan lahirnya Undang-Undang ini tidak ada lagi perbedaan antara hukum adat dengan hukum perdata Belanda yang berkaitan dengan masalah pertanahan.
Kaitan Pendaftaran Tanah dan Ketentuan Konversi Pada UUPA.
Ketentuan sebagai negara hukum (rechstaat) mempunyai alasan yang kuat dan jelas untuk kepentingan warga negara itu sendiri. Menurut Gustav Radbruch[1], seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Sebagai negara hukum, pengakuan hak atas kepemilikan telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, aturan tersebut mengikat setiap warga negara bahkan pemerintah sendiri agar tercipta jaminan kepastian hukum mengenai hak seseorang, hal ini sejalan dengan teori hukum yang dikembangkan oleh Roscou Pound yaitu hukum adalah alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering).
Kewajiban negara dalam mengatur lintas hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya atau dengan badan hukum dengan badan hukum lainnya sehingga adanya kepastian hukum bagi masing-masing pihak dengan tidak ada yang merugikan pihak lain karena ada aturan hukum didepan mereka.
Pengaturan hak atas tanah merupakan salah satu kewajiban negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kepastian hukum serta terjaganya hak-hak masing-masing pihak. Selain kepastian hukum, aturan hukum yang ada dalam negara ini juga memberikan perlindungan hukum bagi pengakuan hak-hak warga negaranya.
Pendaftaran tanah merupakan amanat dari Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara jelas disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, dengan adanya amanat undang-undang ini maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah yang mana kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Pengertian Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Secara jelas dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini menyebutkan yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat (2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.
Tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah adanya jaminan kepastian hukum bagi hak atas tanah tersebut. Dan ayat ini ditujukan kepada pemerintah selaku penanggungjawab dalam hal pengaturan pendaftaran tanah. Sedangkan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada pemegang hak, sehingga ada hak dan kewajiban antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah.
Pasal 23 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 32 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat (2) menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 38 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat (2) menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Sedangkan konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990:1).
Ketentuan konversi mengenai hak-hak tanah telah diatur dalam pada Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA Pasal II ayat 1 yaitu: hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21. Kemudian dilanjutkan pada ayat 2 yang berbunyi yaitu hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Kemudian dalam Pasal VI mengenai Ketentuan Konversi di UUPA menyatakan bahwa Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pada Pasal VII ayat (1) menerangkan secara rinci bahwa hak gogolan, pukulen, atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat (1). Ayat (2) menyatakan hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya udang-undang ini. Ayat (3) menyatakan bahwa jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri agrarialah yang memutuskan.
Mengenai hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 yang berbunyi: 1. Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. 2. Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu. 3. Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu menurut kenyataannya. 4. Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang bersangkutan berlainan pendapat dengan kedua pejabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.
Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah menyatakan bahwa pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan diajukan:
- Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya).
- Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (camat) yang:
- Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.
- Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
- Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya.
- Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.
Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat diikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri ini menjelaskan bahwa Mengenai hak-hak yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda buktinya, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 dan 3, maka atas permohonan yang berkepentingan diberikan pengakuan hak, atas dasar hasil pemeriksanaan Panitia Pemeriksaan Tanah A tersebut dalam Keputusan Menteri Negara Agraria No. Sk.113/Ka/1961 (TLN Nomor 2334). Pengakuan hak tersebut diberikan sesudah hasil pemeriksaan Panitia itu diumumkan selama 2 bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa, Asisten Wedana dan Kepala Agraria daerah yang bersangkutan dan tidak ada yang menyatakan keberatan, baik mengenai haknya, siapa yang empunya maupun letak, luas dan batas-batas tanahnya. Ayat (2) menyatakan bahwa Pengakuan hak yang dimaksudkan di dalam ayat (1) Pasal ini diberikan oleh Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Jika menurut Keputusan Menteri Negara Agraria No. Sk.112/Ka/1961 jo SK 4/Ka/62 (TLN Nomor 2333 dan 2433) yang berwenang memberikan hak yang diakui itu instansi yang lebih rendah, maka instansi itulah memberikan pengakuan tersebut. Ayat (3) berbunyi bahwa Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6, maka di dalam surat keputusan pengakuan hak tersebut ditegaskan konversi haknya menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai, yang atas permohonan yang berkepentingan, akan didaftar oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan. Di daerah mana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah mulai diselenggarakan, maka pengakuan hak itu baru mulai berlaku, jika haknya telah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah. Atas permintaan yang berhak diberikan kepadanya sertifikat atau sertifikat sementara, dengan dipungut biaya menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Selanjutnya secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 berbunyi Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Ayat (2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat : a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Sehingga ketentuan ini telah sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebagai negara hukum adalah setiap warga negara terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
simpulkan sebagai berikut:
- Kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanah adat sebelum berlaku UUPA telah diatur juga dalam UUPA mengenai ketentuan konversi serta dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
- Kepastian hukum itu berupa tanah adat yang belum didaftarkan maka harus dikonversi dulu sesuai dengan amanat PP Nomor 24 Tahun 1997.
- Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran Ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti dilakukan dengan proses pengakuan hak.